Senin, 20 April 2015

Hukum Perikatan

BAB IV
HUKUM PERIKATAN

1.      Pengertian Perikatan
Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “verbintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literature hukum di Indonesia. Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan. Misalnya jual beli barang, dapat berupa peristiwa misalnya lahirnya seorang bayi, matinya orang, dapat berupa keadaan, misalnya letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau bersusun. Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang- undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi akibat hukum. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hokum ( legal relation).
Jika dirumuskan, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession), dalam bidang hukum pribadi (personal law).
Perikatan yang terdapat dalam bidang hukum ini disebut perikatan dalam arti luas. Perikatan yang terdapat dalam bidang-bidang hukum tersebut di atas dapat dikemukakan contohnya sebagai berikut:
a.       Dalam bidang hukum kekayaan, misalnya perikatan jual beli, sewa menyewa, wakil tanpa kuasa (zaakwaarneming), pembayaran tanpa utang, perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain.
b.      Dalam bidang hukum keluarga, misalnya perikatan karena perkawinan, karena lahirnya anak dan sebagainya.
c.       Dalam bidang hukum waris, misalnya perikatan untuk mawaris karena kematian pewaris, membayar hutang pewaris dan sebagainya.
d.      Dalam bidang hukum pribadi, misalnya perikatan untuk mewakili badan hukum oleh pengurusnya, dan sebagainya.

2.      Dasar Hukum Perikatan
Berdasarkan KUH Perdata terdapat 2 sumber adalah sebagai berikut:
Dasar hukum Pasal 1233 KUHPerdata “ tiap-tiap perikatan dilahirkan karena persetujuan baik karena UU”. Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHPerdata terdapat tiga sumber yaitu:
1.      Perikatan yang timbul dari persetujuan.
2.      Perikatan yang timbul dari Undang-Undang.
a.       Perikatan yang terjadi karena undang-undang semata.
b.      Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia.
-          Menurut hukum terjadi karena perbuatan yang di perbolehkan ( sah atau tidak melanggar hukum )
-          Bertentangan dengan hukum ( tidak sah atau melanggar hukum )
3.      Perikatan terjadi bukan perjanjian.
a.       Perjanjian (Kontrak)
b.      Bukan dari perjanjian (dari Undang-undang)

3.      Asas-asas dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan adalah sebagai berikut:
1.      Asas Kepercayaan
Bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantaramereka dibelakang hari.
2.      Asas Persamaan Hukum
Bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang samadalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya,walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
3.      Asas Keseimbangan
Asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhidan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaandebitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjianitu dengan itikad baik.
4.      Asas Kepastian Hukum Perjanjian
Sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian initerungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang- undang bagi yang membuatnya.
5.      Asas Moralitas
Asas ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukumitu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.
6.      Asas Kepatutan
Tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitandengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.

7.      Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanyamengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yangmenurut kebiasaan lazim diikuti.
8.      Asas Perlindungan
Mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan ituadalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asasinilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan danmembuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengandemikian dapat dipahami bahwa keseluruhanasas diatas merupakan hal pentingdan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan.
9.      Asas Kebebasan Berkontrak
Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
10.  Asas Konsensualisme
Perjanjian ini lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok.

4.      Hapusnya Perikatan
Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Sepuluh cara tersebut adalah :
1.      Pembayaran
Pembayaran adalah setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela. Yang wajib melakukan pembayaran bukan hanya pihak yang berutang (debitur) saja, tetapi juga pihak lain yang berutang dan penanggung utang (borg). Dalam pasal 1332, pihak ketiga dapat membayar utang asalkan pihak ketiga tersebut bertindak atas nama pihak yang berutang atau bertindak atas namanya sendiri dengan tidak mengganti hak-hak pihak yang berutang. Dalam jual beli, tidak hanya pihak pembeli saja yang melakukan pembayaran tetapi pihak penjual juga dikatakan membayar saat menyerahkan barang yang dijualnya.
2.      Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
Cara ini dilakukan saat pihak yang berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Prosedur untuk menghapus perikatan dengan cara ini adalah sebagai berikut :

Uang atau barang yang ditawarkan sebagai pembayaran ditawarkan kepada notaries atau jurusita pengadilan. Notaris atau jurusita ini membuat peincian uang atau barang yang akan dibayarkan dan menemui kreditur di tempat tinggalnya. Jika kreditur menyukai pembayaran tersebut, maka proses pembayaran selesai dan perikatan hapus. Tetapi jika kreditur menolak pembayaran tersebut, kreditur akan diminta untuk menandatangani berita acara. Dan jika kreditur tidak menolak menandatangani berita acara tersebut, penolakan tersebut akan dicatat oleh notaris atau jurusita pengadilan. Tanda tangan dan catatan tersebut akan digunakan sebagai bukti bahwa kreditur menolak pembayaran. Debitur kemudian mengajukan permohonan agar pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah dilakukan. Setelah permohonan tesebut disahkan, uang dan barang disimpan kepada panitera pengadilan negeri dan hapuslah utang dari si debitur.
3.      Pembaruan Hutang atau Novasi
Ada tiga macam jalan untuk melakukan novasi menurut pasal 1413 KUH Perdata, yaitu :
a.       Debitur membuat suatu perikatan utang piutang baru dengan kreditur, yang menggantikan utangnya yang lama.
b.      Ada debitur baru yang ditunjuk untuk menggantikan debitur yang lama (debitur ini dibebaskan dari perikatannya yang lama).
c.       Apabila sebagai akibat adanya perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama.
4.      Perjumpaan Hutang atau Kompensasi
Perjumpaan utang atau kompensasi ini merupakan suatu cara penghapusan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang-piutang secara timbal balik antara kreditur dan debitur.
5.      Pencampuran Hutang
Pencampuran hutang ini terjadi saat kedudukan sebagai debitur dan kreditur berkumpul pada satu orang. Misalnya : Seorang debitur menjadi ahli waris tunggal dari surat wasiat (testament) yang dibuat oleh kreditur.
6.      Pembebasan Hutang
Pembebasan Hutang adalah suatu cara penghapusan utang dengan kreditur secara tegas menyatakan bahwa dirinya tidak menghendaki lagi prestasi dari debitur dan melepaskan haknya dari pembayaran atau pemenuhan perjanjian. Pembebasan utang ini tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
7.      Musnahnya Barang yang Terhutang
Hapusnya perikatan dengan cara ini terjadi saat objek perjanjian musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang sehingga tidak dapat lagi diketahui barang tersebut masih ada atau tidak. Musnahnya, tidak dapatnya diperdagangkan lagi, atau hilangnya objek perjanjian harus terjadi diluar kekuasaan debitur.
8.      Batal atau Pembatalan
Perjanjian menjadi dapat dibatalkan jika di dalam perjanjian tidak terpenuhi syarat subjektif yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan bertindak. Perjanjian yang menjadi batal demi hukum berarti dalam perjanjian tersebut tidak terpenuhi syarat objektif yaitu mengatur suatu hal tertentu dan adanya sebab yang halal. Batal demi hukum berarti perjanjian secara otomatis berakhir dan keadaan kembali ke keadaan semula sebelum adanya perjanjian.
Dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, perjanjian menjadi berakhir. Dalam hal perjanjian dapat dibatalkan, perjanjian tidak secara otomatis berakhir, diperlukan suatu pembatalan dari salah satu pihak terlebih dahulu.
9.      Berlakunya Suatu Syarat Batal
Dalam hukum perjanjian, pada dasarnya suatu syarat batal berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Syarat batal adalah suatu syarat yang jika terpenuhi akan mengakibatkan terhentinya perjanjian dan segala sesuatu kembali ke keadaan semula seolah-olah tidak terjadi perjanjian (pasal 1265 KUH Perdata).
10.  Kadaluarsa atau Lewatnya Waktu
Kadaluarsa menurut pasal 1946 KUH Perdata adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

Sumber :                                                                       


1 komentar:

Unknown mengatakan...

agen bola terpercaya
agen casino online
agen sabung ayam
agen togel terpercaya

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo